Untuk kamu, dua tahun lalu.
Selamat malam untuk kamu, masih ingat aku kah? Kurasa tidak, karena jika diingat kamu menjumpai banyak generasi. Sudah berapa generasi ya semenjak acara itu pertama kali dilaksanakan—2004? Wow, sudah satu dekade! Sebelumnya, apa kamu tahu pencetus acara yang mempertemukan kita telah wafat? Iya, Bapak Taufik Kemas. Orang yang mempunyai ide untuk menyosialisasikan dasar negara dan hukum negara kita.
Baiklah, lebih baik aku mengingatkanmu. Aku salah satu dari peserta acara itu, angkatan tahun 2012. Aku menempati kamar nomor 36, jika itu bisa disebut kamar karena bagiku itu seperti rumah. Apa kamu tahu jika rumah yang aku—kami tempati sedikit aneh? Ada satu ruangan kecil di sudut dapur yang tak terlalu terawat, dan coba tebak apa yang ada di dalamnya, Keranda! Iya benar keranda, yang biasa kita lihat saat ada orang di kampung yang meninggal. Satu lagi, rumah yang kami tempati mempunyai dua kamar yang masing-masing memiliki kamar mandi sendiri, satu ruangan tengah untuk berkumpul, satu dapur yang hanya bisa digunakan untuk memasak mie dan mencuci piring—ada satu kulkas juga di dalamnya, dan satu ruangan kecil yang sudah kuberitahu tadi. Kami membagi rombongan menjadi dua hingga satu kamar diisi lima orang, kami wanita semua, btw. Dan kamu tahu, ruangan yang aku tempati ternyata’dijaga’ ya, jika aku bisa menyebutnya kuntilanak mungkin.
Tapi selepas dari letak rumah itu, ada halaman belakang yang langsung menghadapmu. Hari pertama aku menjejaki pasir di situ adalah hari dimana kita saling bersetubuh dengan khusyu. Kamu menyibak rokku hingga sedengkul dan membuat baju tebal yang kupakai menjiplak bentuk badanku yang tak bisa disebut gemuk. Hari-hari berikutnya, aku hanya sempat mengunjungimu setiap sore sambil membawa buku undang-undang. Saat fajar mengintip, dan membuatmu semakin tampan aku hanya bisa memandangimu dari balik jendera kamar. Aku disibukkan dengan acara itu, walaupun itu tidak sia-sia. Aku—kami juara lho, selisih lima poin dengan sekolah yang dijagokan. Padahal tak genap seperempat bulan aku di situ, tapi kenapa kamu begitu merindukan ya?
Kamu tahu apa yang membuatku sangat merindukam cumbuan-cumbuan kita? Jujur, aku suka saat kamu bertingkah genit mengejar kakiku untuk sekedar membasahi, bahkan terkadang kamu tak sungkan menyibak rokku begitu saja. Jika aku bisa bilang, kamu paling tampan saat senja mulai tiba. Siapa sih yang tak menyukai pertanda petang itu? Hanya saja, itu begitu spesial karena berpadu dengan desiranmu yang memukau. Aku juga merindukan pengganggu-penggangu kita—jika boleh kusebut begitu. Ingat kedua tukang degan yang sering menawariku saat kita sedang bermesraan? Iya, aku juga rindu mereka. Logat sundanya yang kental dan senyumnya yang merekah tanpa beban. Aku ingat salah satu dari mereka memakai topi kain lebar, berumur empat puluhan yang kadang bercerita tentang anak-anaknya. Ingat? Tentu saja ingat! Kamu cemburu dan ingin membasahi badannya berkali-kali kan? Haha
Baiklah, bukankah aku pernah berjanji untuk mengunjungimu lagi? Baik, aku memang sering mendatangimu, tapi itu tidak memenuhi janjiku. Aku berjanji akan berlibur atau berbulan madu di sana. Melihat kamu saat fase paling tampan. Ahaha, aku ingat janji itu kok. Doakan aku semoga sehat selalu dan bisa menepati janjiku padamu.
Untukmu, pesisir pantai Anyer, dua tahun lalu.
Salam rindu, salah satu penghuni kamar nomor 36, Eva.