Because I am Like Universe

Pernahkah kalian merasa mengenal seseorang begitu dalam? Nyatanya, tak ada yang bisa mengenal seseorang sepenuhnya. Karena perasaan dan sifat manusia layaknya bentangan semesta. Terkadang dipenuhi bintang-bintang bersinar, tapi sepantasnya kita tahu, bahwa semesta selalu punya lubang hitam.

Jika kalian diharuskan untuk menyebutkan lima perspektif salah mengenai perasaan–sifat kalian. Mana yang kalian pilih?

Aku..

  1. Introvert / Ekstrovert.
Ambivert.

Lucu saat beberapa orang berusaha menempatkanmu sesuai dengan kriteria ‘introvert’ atau ‘ekstrovert’.

  Kamu lebih suka bekerja berinteraksi langsung atau behind the desk?

Saya suka keduanya.

Lebih suka yang mana tapi?

Trus dia maksa. Padahal, ada orang yang benar-benar nyaman dengan keduanya. 

  1. Cuek.
That’s not true.

Terkadang, ada seseorang yang peduli dengan keterlaluan. Dan terkadang, kepedulian perlu disembunyikan.

  1. Strong
You think?

Sometimes, we tried to be strong is just to hide something weak.

  1. Feminist
You’re not the one.

You think I’m feminist–feminism? Don’t worry, you’re not the one.

  1. Realist.
The truth is..

The truth is… 

I’m realist who believe in miracle.

Tulisan ini diikutkan pada #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge. Hari kedelapan: Sebutkan 5 hal Opini yang salah mengenai kamu.

Lagi-lagi Tentang Hujan

Dalam tiap detak jam di sudut ruangan sana, aku kembali berpikir, apakah ini adalah pertaruhan yang adil jika melibatkan sesal yang luar biasa hebat nantinya.
Di seberang meja, kamu masih diam. Sediam dulu saat mata kita pertama kali saling bertemu. Aku tak mengerti apa lagi hal yang menyita pikiranmu hingga menatapku saja kamu tak mampu.

Aku menelengkan kepala ke arah jalanan. Kamu tahu, Le, orang-orang sedang berlarian menghindari hujan yang serentak datang. Beberapa di antaranya berteduh di depan kafe, mulai menghalangi pandanganku ke arah rintik hujan yang mulai derasnya. Aneh ya rasanya.. Kita dulu juga seperti itu. Saling bertemu saat berteduh dari kepungan gerimis yang tak bilang permisi. Padahal beberapa hari setelahnya kita sama-sama mengutarakan sebagai penyuka hujan. Pecinta gerimis dan senja.

Mungkin, apakah perasaan memang seperti itu, Le? Terlalu mudah untuk sekedar dibolak-balikkan. 

Tak ada lagi yang bisa kulihat selain punggung-punggung basah yang menghalangi etalase. Aku kembali menghadapmu.

Kamu, masih diam. 

“Mau sampai kapan, Le? Kita gak punya waktu selamanya kan,”

Kamu menghembuskan napas, lagi. Entah ini yang keberapa kali. 

“Aku gak butuh selamanya. Kenapa kamu pergi, Nat?”

Aku memicingkan mata, tak percaya, entah kamu yang bodoh atau aku yang terlampau kecewa.

“Kenapa aku pergi? Karena kini, aku temukan cinta yang selalu kamu sebut.”

“.. Dalam diamku.”

“Nat, ini gak masuk ak—”

Aku segera beranjak dan kamu tercekat. Entah saat ini duka atau kecewa yang kulihat. Aku sudah mulai tak peduli.

Tanpa tersenyum, aku segera beranjak pergi. Mengeluarkan payung dari dalam tas yang kamu berikan sebagai hadiah ulangtahun pernikahan tiga tahun lalu. Dan menantang gerimis, menghalau perasaan ragu atau sesal yang akan datang.

Aku tak peduli lagi.

Karena Gemuk Adalah Prestasi

Pernah kah kalian begitu menginginkan sesuatu, mendambakannya bertahun lamanya, berusaha menciptakan sayap hanya untuk dapat menggapai sehelai ujungnya saja. Dan saat kalian sedang berpeluh darah meraih hal itu, kalian melihat ke atas dan tiba-tiba saja ada yang menggapai mimpimu begitu saja. Tak perlu berusaha. Hanya mendapatkannya karena ia memang ditakdirkan untuk mendapatkannya.
Pernah?

Well, that’s what I feel.

Semenjak lima tahun silam, angka di jarum timbangan tidak pernah mencapai angka 50. Atau bahkan selama hampir 21 tahun saya hidup, hal itu belum pernah kejadian.

Bagi seseorang yang memiliki metabolisme cepat, berapapun kalori yang dikonsumsi tidak akan berpengaruh.

 Much out as much as in

Ini sedikit berbeda. Teman saya pernah bilang, 

Boro-boro makan. Gue napas juga jadi daging!

Dan rasanya saya pengen jawab.

Boro-boro gemuk. Gue makan naga juga cuman jadi ampas!

So?

Apa hal yang kamu banggakan sedangkan yang lain meremehkan?


Naikin. Berat. Badan.





Tulisan ini diikutkan pada #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge hari ke-6


NB: Udah mulai loyo bikin tulisannya :’)

Seperti Jodoh, Film Juga Harus Dipilih Benar-Benar

Okay, saat saya mengira tantangan 10 Hari Menulis Kampus Fiksi yang terberat adalah kemarin–hari keempat, saya salah besar! Justru tantangan hari ini lebih berat, Men!

Kalau sebelumnya saya langsung bisa menulis-edit-posting, hari ini cobaannya lebih ganas. Disertai galau dulu, geregetan, was-was, sebel. Kenapa coba  cuman tiga film?! Whay? Whaaay?!

Bayangkan kalian harus me-list semua film yang pernah kalian tonton sepanjang umur kalian terakhir ini–saya 20 tahun btw. Because it’s so haaarrrdd!

And yeah, setelah berdebat dengan beberapa kepribadian dalam diri, akhirnya pukul 23.15 Waktu Indonesia Barat, telah ditetapkan tiga pemenang! 

Yeaaayy!! 

Teroreroreeeeeng!

1. The film that raises me up,

3 Idiots


All iz well. 

Sekali lagi, saya benar-benar berterima kasih kepada semesta serta segala kebetulannya. Film ini keluar saat saya masih menjalani bangku SMA. Sekitar kelas X dan XI.

Masa-masa itu adalah waktu dimana saya super sibuk dengan segala kegiatan akademis. Sekolah saya adalah tipikal sekolah yang senang sekali memberikan pekerjaan rumah yang seabrek-abrek. Sampai sekarang pun saya tidak mengerti untuk apa. Terlebih, saat itu saya sedang disibukkan dengan berbagai lomba sekaligus. LCC 4 pilar, HKI, Cerdas Cermat, OSN, Debat, Drama, Lomba Pidato, dan entah masih banyak lagi. Semua lomba itu adalah lomba bertahap, dari tingkat kabupaten sampai Nasional. Dan semua itu saya tempuh dalam satu semester!

Jadi, bayangkan bagaimana saya kekurangan serotonin kala itu.

Dan sialnya, tidak semua lomba berakhir mulus. Kegagalan demi kegagalan yang berturut-turut sempat membuat saya stres luar biasa. Sampai akhirnya seorang teman memcabut proyektor kelas dan menampilkan film ini di papan tulis putih.

Film ini benar-benar hadir di saat yang tepat. Bukan saja buat saya. Tetapi untuk hampir semua teman seperjuangan. Bahkan kalimat all iz well menjadi semacam kalimat wajib di kalangan sekolah saya kala itu.


2. The film that makes me grateful,

 and believe in dreams,

Laskar Pelangi

Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga.

Bersyukurlah pada yang kuasa. Cinta kita di dunia.

Selamanya..

I’m so speechless.


3. The film–tv series that heals my pain
,

The Big Bang Theory (TBBT)

Sekali lagi, saya berterima kasih kepada semesta dan segala kebetulannya. Sudah lama saya ingin menonton tv series ini, tapi selalu ada halangan. Namun ternyata saya dipertemukan dengan series ini di saat yang lebih tepat. 

Di series ini saya tidak hanya diajak menertawakan hidup, tetapi juga diajak mensyukuri nikmat kecil yang kadang akan kita rindukan suatu hari nanti. Di series ini pula pecahan hati saya kembali dilem dan dibungkus dengan rapi, tidak lupa ditambahkan pita warna-warni.

Now I know, when you feel your heart is already broken into pieces, just take some TBBT episodes, and you will reborn, like a baby.



Tulisan ini diikutkan pada #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge. Hari kelima: 3 Film yang Paling Berkesan.

Kita di Tengah Hiruk Pikuk

kita bertemu di tengah hiruk pikuk, di sela langkah kaki yang tergesa-gesa mengejar keberangkatan kereta. Aku memutuskan untuk menaiki tangga, membiarkan deru mesin kereta api tergantikan dengan bisik-bisik manusia. Sesampai di atas, entah bagaimana suara kereta listrik dan pemandangan langit mendung begitu membuat pikiranku tak karuan.

Handphone yang kugenggam bergetar. Hampir saja membuatku spontan menjatuhkannya ke rel kereta dan membiarkannya terlindas sia-sia.

Aku masih di jalan. Kamu sudah sampai ya?

Aku menghembuskan napas lega dan segera membalas. Kuputuskan untuk kembali merapikan dandananku. Jilbab, cardigan, dan sepatu hitamku, mengecek apakah ada noda lumpur atau apa. Entah kegiatan itu sudah kulakukan berapa kali dalam kurun waktu dua jam terakhir.

Aku berdehem dan kembali melihat langit. Biasanya warna langit yang biru keabuan akan membuatku tersenyum dan rileks. Namun kali ini sepertinya langit bersengkongkol bersama semesta untuk membuat pikiranku kacau balau.

Aku membalik badan, menghadap kepada puluhan orang yang tengah berlarian atau sekedar berjalan cepat. Was-was apakah salah satu di antara mereka adalah kamu. 

Beberapa menit berlalu, handphoneku kembali bergetar.

Aku udah sampai. Kamu dimana?

Bukannya membalas pesanmu, aku malah sibuk celingak-celinguk. Takut jika kamu melihatku terlebih dulu, entah kenapa aku berlaku seperti itu.

Dan di sana, tepat di depan tangga, kamu berdiri. Tatapan kita bertemu. Kala itu, tak ada yang terlebih dulu.

Kita, bersama, saling menemukan.

Bulir-bulir keringat kecil nampak di dahi dan pelipismu, sembari menghampiriku, kamu melapnya dengan salah tingkah.

Berjarak beberapa langkah, kamu berdiri, tersenyum.

“Hei, sorry, aku—”

Hanya kalimat itu yang mampu kudengar, sisanya kebas dibawa lalu bisik-bisik manusia dan deru mesin kereta.

Detik itu, aku mengerti arti terpesona pada pertemuan pertama.

Tulisan ini diikutkan pada #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge. Hari keempat: Tanpa menyebutkan nama, ceritakan pertemuan pertama dengan dia.

NB: Pulang kerja jam 11.35. Belum ganti baju, belum makan, belum cuci muka. Langsung pegang handphone dan nulis ini. Bahkan nulisnya langsung di wordpress biar keburu. Ini hari paling perjuangan :’)

Balloons: How God Gets Our Wishes

Kenapa gambarnya mesti balon?

Apa hubungannya Balon, Tuhan, sama Tema menulis hari ini—5 hal yang ingin dicapai tahun ini?

Hum oke, begini,

Untukku, seseorang yang tumbuh dengan majalah bobo dan cerita soal Oki dan Putri Nirmala, aku adalah orang yang percaya dengan keajaiban. Bahkan mengenai dewa-dewa. Dulu, aku percaya bahwa Apollo memang benar-benar ada. Saat aku bermain ke pantai, alih-alih Posseidon, aku memilih untuk lebih percaya kepada Pantai Ratu Selatan. Intinya adalah, aku percaya pada hal-hal klasik semacam itu.

Jika Kugy lebih memilih untuk menyampaikan keluh kesahnya lewat sebuah perahu dari kertas dan dihanyutkan ke air, aku adalah kebalikannya. Aku lebih suka langit. Warna birunya, awan-awan yang berarak lambat yang terkadang membentuk kelinci atau tengkorak, pesawat-pesawat yang besarnya hanya sejari kelingking jika dilihat dari bawah sini. Bukankah itu semua menakjubkan? Di atas sana. Ke atas sana.

But anyway, intinya, aku mengartikan bermimpi seperti menerbangkan balon-balon ke langit biru. Berharap Tuhan–yang katanya ada di atas sana menerima doa-doa dengan bungkusan  lucu. Ada harapan yang kubungkus dengan balon merah muda, kuning, bahkan orange. Adapula beberapa balon yang kutitipi kecup rindu. Bayangkan saat malaikat penerima doa memecahkan balon dan keluarlah butir-butir harapan dengan berbagai warna, berbagai perasaan. Bukankah hal itu begitu indah?

Tahun ini, kukirimkan balon-balon harapan ke atas langit sana. Lima di antaranya mungkin bisa kuungkap di tulisan ini. Berharap malaikat penerima doa akan maklum dan tetap menerima balonku dengan lapang, walau isinya telah bocor ke beberapa orang. Iya, kamu-kamu yang membaca ini.

 

Harapan yang pertama,

Image result for balloon vintage

Karakter.

Semenjak tahun kemarin aku sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa hati ini, pikiran ini, ekspresi ini, harus berubah.

My mom ever said,

“You are twenty, it’s time for being grown up lady. That’s mean; There’s somebody besides you in this big world to care. Not just you.”

And fortunately, I agreed with her.

 

Harapan yang kedua,

https://vanillatopia.files.wordpress.com/2017/01/58772-hot_air_balloons_in_landscape_uhd.jpg

 Mimpi.

I know it’s not specific, but I think it’s time to make a deal with my self to more care about my real dreams.

Yup, I hope this year will be the first step of starting everything.

 

Harapan ketiga,

Image result for balloon money landscape

Perjalanan

Perjalanan artinya tahun ini ingin sekali rasanya mengalami banyak hal. Dari berbagai tempat, bertemu orang-orang baru. Tahun ini rasanya ingin sekali mencari banyak pengalaman. Ada beberapa list kegiatan yang rasanya harus aku lakukan setidaknya sekali seumur hidup, dan kurasa tahun ini adalah wal yang bagus untuk memulai.

 

Harapan keempat,

Related image

Keuangan

Bukan rahasia lagi, tahun ini saatnya mulai menapaki dunia orang dewasa. Setidaknya, mandiri secara finansial.

 

Harapan yang kelima,

https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/d0/0b/b8/d00bb88ff1127459725e414b2191e518.jpg

Let 

this one

be my secret 

between me and God.

 

 

Tulisan ini diikutkan dalam #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge, Day 3: 5 Hal yang Ingin Dicapai Tahun Ini.

3 Things You Need to Destroy Me

Apa 3 Hal yang kemungkinan besar akan membuatmu histeris?

 

Atau bunuh diri?

 

Atau membuat duniamu runtuh seketika?

 

Aku tahu.

Tiga hal yang tak boleh terjadi.

 

 

1. Bangkrutnya PT. Indofood

https://dianacookswithlove.files.wordpress.com/2012/11/2012-11-14-11-08-36.jpg

 

For God Sake! I cant lose these things!

 

 

 

2. There’s no tree anymore, so..

https://i0.wp.com/st.depositphotos.com/1915171/4068/v/950/depositphotos_40688787-No-book-sign-icon-open.jpg

No more books 😦 God please dont!

 

 

 

 

 

3. You

Are

Married.

Just… don’t.

 

 

Tulisan ini diikutkan pada #KampusFiksi 10 days Writing Challenge. Hari kedua: 3 Hal yang membuatmu histeris.

Perihal Kamu dan Kekasih Idaman

Bagaimana tipe kekasih idamanmu?

Seseorang pernah bertanya begitu, entah beberapa bulan atau tahun yang lalu. Tapi aku ingat, seorang lelaki pernah menanyaiku sembari memainkan bola basket dengan tangan kirinya.

Dulu, aku hanya memberenggut dan menggeleng tak acuh, namun sekarang, bolehkah kujawab?

Kekasih idamanku tidak pernah muluk-muluk. Tidak perlu setampan Liam Hemsworth. Tak perlu sekaya David Beckham, tak perlu pandai beromantis ria seperti Kurniawan Gunadi. Tidak kok.

Kekasih idamanku adalah seorang pria yang mau membuka hati, membuka diri, dan membuka pikiran yang paling penting. Tak terbayang kan kalau hidup dengan pria yang serba menutup diri? Bahkan dari pasangannya sekalipun?

Kekasih idamanku juga pria yang mampu mengakui kekalahannya, bahkan rela mengalah demi orang yang dicintainya. Bukankah manis jika seorang perempuan dicintai oleh pria seperti itu?

Kekasih idamanku ialah seorang pria yang begitu lembut. Mungkin terkadang ia akan menjadi sasaran moodku yang bisa berubah naik turun seperti kurva saham. Namun, seorang kekasih idaman mengerti, ia tidak perlu marah atau pergi. Aku begitu karena ia adalah pria yang kupersilahkan masuk ke lingkaran terdalam dalam hidupku.

Dan yang terpenting, kekasih idaman adalah ia yang mencintai dengan sederhana. Apa adanya. Menjadi orang yang lebih baik, bersama-sama.

Jadi,

kamu bagaimana?

 

 

Tulisan ini diikutkan pada 10 days Writing Challenge #KampusFiksi. Tema Ahari Pertama: Kekasih Idaman.

Hujan dan Kesukaan Kita

Banyak orang yang bilang suka hujan. Terkadang, bunyi riaknya menenangkan, katanya. Adapula yang menyenangi baunya. Kamu, menyukai hawanya, dinginnya menghangatkan, katamu.

“Kalau kamu, apa yang disuka?” Tanyamu suatu kali.

Jika boleh, sebenarnya aku tidak pernah suka hujan. Aku benci baunya yang memuakkan, rintik airnya yang merembes ke atap kamarku. Ataupun hawa dinginnya yang kadang membuatku semakin panas setelahnya.

Lalu tiba hari itu. 

Kamu dengan rambut sepundak yang sudah lepek terkena rintik hujan, memasuki kafe hanya untuk berteduh dari keroyokan air yang banyak orang puja. Blouse merah muda yang kamu kenakan sudah basah setengahnya. Kamu sempat melihat-lihat menu sembari menepuk-nepuk celana jeansmu. Entah, apa hal itu akan membuat celanamu lebih kering cepat.

Lalu tatapan kita bertemu. 
Tidak, kamu tidak langsung tersenyum dan aku jatuh cinta. Bukan seperti itu.

Kamu memalingkan muka tak acuh, dan duduk di pojok ruangan. Kita terpisah jauh.

Jadi, mungkin tanpa kusadari aku mulai suka hujan saat itu. Terlebih hujan di pukul tiga sore. Karena kamu akan selalu berteduh, memesan latte, dan duduk di pojok ruangan.

Hingga aku tak ingat lagi sejak kapan kamu dan hujan menjadi kebiasaan baru bagiku, atau sejak kapan kita sama-sama tersenyum saat bertemu di jalan karena saling menyadari bahwa kita adalah penghuni tetap kafe kopi saat hujan pukul tiga sore hari.

Jadi, Diana, bolehkan kalau kubilang kamu adalah bagian hujan yang paling kusukai?

Gadis Tanpa Wajah dan Logaritma Doa-Doa

Bisik-bisik meriuh di lorong panjang kelas IXA. Hari ini terdengar kabar burung yang mampu membuat anak paling penyendiri pun ikut berbaur demi mengetahui apa yang tengah terjadi. Jika biasanya di kelas terbagi beberapa kelompok, hari ini seisi kelas kompak meriung di pojok ruangan bak satu koloni besar Lactobacillus di cawan kaca saat praktik biologi kemarin. Beberapa siswi mengiyakan dengan semangat, yang lainnya menyangkal sambil berdehem, dan sisanya penasaran setengah mati.

“Gue beneran lihat kemarin! Marya udah gak punya muka! Iya kan, Cil? Lo juga lihat kan?!” Ujar seorang siswi yang menjadi pusat kerumunan sedari tadi sambil menyikut teman sebelahnya. Meminta dukungan.

Sekarang, pehatian tertuju pada gadis berkuncir kuda yang jua mengiyakan dengan kikuk. “K-kayaknya sih, datar gitu deh wajahnya.”

Beberapa siswa saling pandang, dan seketika kelas semakin riuh. Ada yang berujar ‘operasi plastik!’, ada pula yang berkata bahwa Marya kecelakaan, bahkan ada yang percaya Marya merusak wajahnya karena diputuskan Doni, cowok keren anak ketua komite sekolah.

“Marya dateng!” Ujar salah satu siswi panik. Sejurus kemudian seisi kelas menjadi sibuk mendadak. Ada yang mengambil buku dan menulis entah apa. Ada yang langsung mengikat sepatu, ada pula yang hanya menghadap tembok, berharap ada cicak yang mengalami mimikri sehingga mampu mengalihkan groginya.

Si empu pembicaraan pun akhirnya tiba, melangkah perlahan layaknya hantu siswi di film horror klasik Bangku Kosong yang baru beberapa hari lalu mereka tonton bersama. Suasana lorong kelas yang remang-remang karena mendung seolah mendukung suasana untuk membuat siswa-siswi merinding seketika.

Marya sudah sampai di pintu kelas, namun tak ada satu mata pun yang berani menatapnya saat berjalan ke arah bangku di depan meja guru. Sekelebat, hanya siswi yang duduk paling depan yang sempat melihat rambut panjangnya meliuk saat ia lewat.

Beberapa detik berlalu dan tak ada suara yang terdengar kecuali bunyi gesekan saat Marya meletakkan tasnya di atas meja.

Di belakang, beberapa siswa saling bertukar pandang dan menunjuk Marya dengan lirikan mata. Setelah beberapa detik berargumen dalam bisu, salah satu siswi, yang berbadan paling bongsor menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bersua.

“Hem.. Eghem! Duh! PR bu Asri belum kelar lagi gue!” Ujar si siswi yang terdengar seperti menggunakan tiga toa sekaligus.

Beberapa detik berlalu, dan kelas masih sesunyi sebelumnya. Si siswi memandang seluruh kelas dan memasang wajah murka, tangannya memukul-mukul udara kosong sembari mulutnya berkoar-koar tanpa suara, meminta tanggapan.

Salah satu siswa di pojok mengerti dan memutuskan bergantian bersuara, “E-eh iya nih. Gue juga belum!”

Si siswa memasang jempol di depan dadanya, dan menunjuk ke Marya sembari mulutnya berujar tanpa suara, “Elo lagi!”

Si siswi berbadan bongsor memberengut tapi menurut, ia kembali berdehem. “Ghem! Eh Mar gue liat PR lo dong! Gue belum sel—”

“Subhanallah!” Ujarnya setengah berteriak setelah Maria menengok ke arahnya. Setelah sadar, si siswi segera membekab mulutnya. Seolah responnya barusan bisa diundo dan diulang.

“E-eh Mar. I-itu muka lo kenapa dah? Sakit?”

Marya menggeleng tak acuh. Ia melirik ke kaca sebelahnya dan tersenyum lebar, “Menurut lo gimana? Aneh gak?”

Si siswi sempat terdiam sesaat, pikirannya menyesapi ‘wajah’ baru teman sekelasnya ini dan berusaha untuk merespon lebih hormat.

“Em.. Mayan sih. Tapi itu kenapa deh?”

Maria kembali tertawa, dan hal itu membuat ‘wajah’nya tampak lebih aneh. Dua lubang besar untuk matanya sedikit menyipit saat ia tertawa, dua lubang kecil yang mungkin untuk bernapas sedikit membesar, dan sobekan yang berisi gigi-gigi kecil itu terbuka sedemikian lebar.

“Lo tau gak, kemarin gue didatengin malaikat. Katanya dia udah lelah sama doa-doa yang harus dia catat buat gue. Katanya kepalanya bisa meledak jadi cahaya mejikuhibiniu kalau doa itu dateng lagi.”

Tak menunggu respon, Marya kembali melanjutkan, “Katanya banyak banget orang terdzalimi sama gue. Dan menurut buku besar Peraturan-perkabulan-doa-doa, doa orang yang terdzalimi itu harus dipriotitaskan. Trus gue tanya, ‘lha emang mereka doa apa?'”

“Kata si Malaikat, sebenernya itu bukan murni doa, tapi menurut Kamus Besar Penyempurnaan Istilah Dunia Baka, perkataan itu termasuk doa. Jadi perkataan orang-orang yang ngerasa gue dzalimi itu bisa dibilang doa mereka buat gue.”

“Wait-wait-wait! Serius?!” Respon si siswi setengah terperangah. Dan sekarang Marya menjadi pusat koloni baru. Kegugupan karena ‘wajah’ baru Marya tergantikan oleh rasa ingin tahu terhadap gosip menyoal malaikat dunia baka yang santar beredar menawan luar biasa.

“Trus?” Ujar salah satu siswa tak sabar.
Marya menelan ludah dan kembali melanjutkan, “Intinya, udah banyak banget yang doa begitu, sampe buku catatan doa prioritas si Malaikat penuh sama doa buat gue. Alhasil si Malaikat itu datengin gue, dan kita bikin perjanjian!”
Marya tersenyum puas dan kembali melanjutkan, “Dia bakal ngabulin doa mereka, yang isinya, which mean ngebuat wajah gue jadi jelek, sejelek-jeleknya!”

“Lah kok lo mau sih?! Lo kan cakep, Mar!” Salah satu siswa menyeruduk kerumunan dan menggebrak meja di depannya. Yang lain mengangguk setuju, tapi Marya kembali tersenyum.

“Gue mungkin jahat, atau nyebelin. But I’m not stupid. Gue pernah baca di perpus, menurut Undang-undang Peraturan Doa no 10 bab 4 jilid kesembilan, mengatakan, suatu doa yang seseorang ucapkan, akan secara otomatis menjadi doa untuk orang yang ditujukan serta dirinya sendiri. Kapasitas akibat doa bisa sama atau lebih berat tergantung beberapa faktor yang diputuskan malaikat yang berwenang. Jadi intinya… Kalau doa mereka bisa terkabul ke gue, harusnya itu juga terkabul ke diri mereka sendiri.”
Beberapa siswa saling pandang, dan mengangguk mengerti.

“Jadi lo nuntut penyamarataan doa dan keadilan pengabulan doa menurut UU doa no 10?” Seorang siswa menanggapi sambil mengelus dagu, berpikir.

“I see. Jocef pernah ngelakuin hal serupa soal insiden ‘mampus lo’ tapi gak begitu berhasil bukannya?” Ujar yang lainnya.

Si siswi bongsor ikut menganalisis, “Nay.. Nay. Jocef lebih dari berhasil. Doi diberi peringatan hampir mati, tapi si pendoa diganjar cacat seumur hidup.”

“Jadi, kapan pembatasan waktu pengabulan doa lo, Mar?” Tanya seorang siswi yang kini sudah duduk di samping Maria.

“Lusa. Demi keamanan blablabla si Malaikat gak ngebocorin siapa yang berdoa, tapi dia janji kalau lusa si empu doa bakal dibikin lebih parah dari gue. Dan sebagai keringanan, gue dalam masa percobaan, kalau dua minggu timbangan amal baik gue bertambah, wajah gue bakal balik ke semula. Yeay!”

Si siswi mengangguk mengerti. Yang lain mulai membubarkan diri perlahan. Si siswi bongsor mengedikkan bahu sembari berujar keras, “Lagipula masih ada aja ya orang berdoa buruk kaya gitu. Pasti bukan orang berpendidikan. Itu kan pelajaran dasar. Bahkan adek gue yang masih SD pun udah ngerti logaritma doa buruk selalu minus. Hah. Manusia manusia.”

Marya dan teman sebangkunya hanya tersenyum kecil, dan beberapa siswi mengangguk setuju sambil mulai berkutat dengan buku masing-masing. Berharap sang Guru datang terlambat atau apalah.

Di luar, mendung sudah usai dan matahari mulai mengintip. Sinarnya menerobos kaca jendela dan menyinari wajah siswa-siswi kelas XIA. Membuat ekspresi was-was beberapa siswi terlihat lebih jelas. Entah bagaimana, mereka berharap lusa tidak akan datang dan si Malaikat tidak melakukan kewajibannya. Sekarang, mereka benar-benar menyesal telah bermain judi dengan doa buruk.